Frank Legacy, salah satu peninggalan terbaik Erwin Zubiyan
Baru sempat manggung dua kali dan punya dua lagu sendiri~

Rasanya kurang afdol kalau aku tidak membagikan soal Frank Legacy ini. Kenapa? Mengingat di beberapa tulisan-tulisan sebelumnya aku sudah bercerita tentang ALTER\EGO, Momo dan Parabiru, ROKET, Papricka, dan Fatrocket. Ya begitu itu, aku memang beberapa kali main di banyak band (ya sekarang masih ding, tapi ya sekadar cuma bantu-bantu aja, nggak tetap). Bagaimanapun band asliku ya nggak sebanyak itu sih~
Jadi, Frank Legacy ini adalah sebuah band proyekan dadakan. Konsepnya instrumental dan anggotanya cuma empat orang. Ada Erwin Zubiyan (gitar), Faiz Wong (drum), Jay Afrisando (saxophone), dan aku pada bass.
Frank Legacy awalnya adalah ide spontan dari almarhum Erwin Zubiyan. Sekadar diketahui, Erwin telah berpulang pada 5 November 2015. Erwin dikenal dan akan tetap dikenang sebagai gitaris Risky Summerbee and The Honeythief (sumpah band ini memang keren banget!).
***
Suatu malam di akhir tahun 2012, nada dering dari BlackBerry Messenger (BBM) milikku berbunyi dengan beruntun. Tandanya pada saat itu ada orang yang chat di BBM sembari mengaktifkan fitur ‘PING!!!’
Setelah ku buka, isinya adalah Erwin. Tanpa basa-basi, isi chat-nya langsung mengajakku untuk latihan bareng di studio. Segera, dalam waktu dekat. Pokoknya saat itu Erwin memaksaku untuk jamming lagunya. Harus mau.
Waduh.. Batinku saat itu. Kok dadakan banget.
Saat itu juga Erwin langsung mengutarakan keinginannya. Intinya aku harus ikut proyekan ini karena dia ingin bikin lagu-lagu instrumental perpaduan jazz dan rock.
“Pokoke kira-kira dadi experimental jazz rock ngono,” tulis Erwin saat chattingan sama aku. Kira-kira dia langsung to the point seperti itu.
Oke, tentu aku tak bisa menolak kalau sudah seperti itu presentasinya. Akhirnya, singkat cerita, Erwin langsung memesan studio latihan malam itu juga dan langsung mengabariku kalau jadwal latihan sudah di-booking di Rockstar Studio.
***
Hari yang dinanti tiba. Sesampainya di Rockstar, ternyata aku langsung bertemu dengan Faiz Wong dan Jay Afrisando di sana. Sosok Erwin malah belum terlihat. Rupanya dia telat. Seingatku saat itu dia harus meminjam efek gitar dulu untuk keperluan latihan ini nanti.
Belakangan aku tahu, ternyata si Faiz dan Jay ternyata juga sudah dihubungi oleh Erwin. Faiz juga cerita, bahwa dia beberapa hari sebelumnya sebenarnya juga sudah sempat jamming berdua dengan Erwin di Alldint Studio. Dari situ keduanya sepakat untuk mengajakku untuk mengisi posisi bass. Alasannya? Ya biar warna musiknya beda kalau ada aku. Dan kalau bisa malah ngajak personel yang nggak ngerti musik jazz sekalian. *asemik, ngece aku kuwi asline~
“Soale kowe nganggo pick dan mainmu aku seneng, nganggo drive terus. Cocok. Jazz rock pokoke iki,” ujar Erwin yang terkenal cerewet itu, saat kami berempat masih memulai setting alat masing-masing di dalam studio.
Nah, kalau soal si Jay, aku lupa-lupa ingat. Kalau tidak salah, Erwin memang ingin proyekan ini juga diisi saxophone juga. Jay didapuk untuk ‘bernyanyi’ dengan saxophone-nya agar nantinya musik kami tetap terdengar melodius, meski dibarengi distorsi gitar dan bass.
Pokoknya dari latihan malam itu, kami berhasil menyelesaikan tiga lagu dengan cukup baik. Hanya aku saja yang masih terlihat meraba-raba sembari menyesuaikan skill ketiga temanku itu. Aku ketok paling bodo pokoke :(
Tiga lagu yang kami mainkan itu adalah satu lagu ciptaan Erwin dan Faiz, dua lagu sisanya adalah coveran, Sepasang Mata Bola dan Come Together.
Panggung pertama Frank Legacy
Nama Frank Legacy itu juga atas ide Erwin dan Faiz. Entah bagaimana dan apa filosofinya, tapi saat itu memang aku langsung setuju karena namanya keren. Frank Legacy menurutku saat itu sudah bisa tipis-tipis mempresentasikan experimental jazz rock. Mbois banget.
Nah, peristiwa selanjutnya adalah panggung pertama kami di Jogja National Museum (JNM). Kalau nggak salah kami manggung di acara Jogja Blues Explosion 2. Isinya tentu banyak grup band blues.
Kami main sore hari. Saat itu tentu saja kami membawakan tiga lagu yang sudah ku sebutkan di atas tadi. Sumpah kalau ingat momen ini, aku grogi. Untungnya sound system memadai, suara bassku di floor monitor juga tidak mengecewakan. Tapi di beberapa part lagu aku tep luput maine. Hesshh, ngelll pokoke. Ya jenenge grogi. Durung pede. Beruntung sore itu aku mengajak Tomo Widayat untuk menemaniku. Rodo ayem ono sing nglegani nek mainku ketok elek.
Usai turun panggung, tak lupa kami melakukan ritual foto-foto dulu di sekitaran JNM. Sayang, foto-foto ini tak terabadikan. Aku cuma menyimpan satu foto dari sekian banyak angle dan jepretan.
Panggung kedua dan terakhir Frank Legacy
Setelah kesuksesan manggung di acara komunitas blues itu, Erwin langsung gerak cepat. Dia ingin Frank Legacy juga dikenal di Jazzmbensenen, komunitas musisi jazz yang bisa berkumpul dan jamming di Senin malam. Ya wajar saja, Erwin dan Faiz juga berproses di tempat itu bersama musisi-musisi jazz senior lainnya. Maka jadilah, Frank Legacy tampil perdana di sana.
Oke. Grogi part 2 datang. Selain menjadi panggung kedua, manggung Frank Legacy di Jazzmbensenen ini juga jadi momen terakhirku satu panggung dengan Erwin. Ealah, Win..
Lupa tanggal berapa bulan apa, Frank Legacy akhirnya manggung juga di Jazzmbensenen. Repertoar kami masih sama, tiga lagu ‘andalan’ yang kami bawakan di Jogja Blues Explosion 2 tempo hari.
Di momen ini tapi aku sangat bersyukur. Meski tak ada foto-fotonya, tapi paling tidak penampilan Frank Legacy bisa terabadikan lewat video satu lagu penuh. Video ini karya Bagoes Kresnawan, yang pada tahun-tahun itu sedang ngulik banget soal videografi. Bagoes memang sengaja aku ajak untuk datang dan dia menyanggupi.
Hasilnya? Yak, inilah dia, cover lagu ‘Sepasang Mata Bola’ dari Frank Legacy di Jazzmbensenen karya Bagoes Kresnawan.
FYI, saat di Jazzmbensenen, tingkat grogiku malam itu menjadi berlipat-lipat ketimbang panggung di JNM. Ya gimana nggak, di Jazzmbensenen banyak banget bassis jazz yang mainnya sangar-sangar.
Lha aku? Wis maine nganggo pick, sound-ne drive dewe, ora iso solo bass meneh.. Hashh.. Ngisin-ngisini! :(
Tapi, sama seperti di panggung pertama, pada akhirnya aku tetap merasa puas dengan penampilan Frank Legacy di Jazzmbensenen itu. Erwin juga terlihat makin semangat dan saat itu berjanji akan menjadwalkan kembali latihan di studio. Agenda selanjutnya mencoba jamming lagu baru miliknya.
Sayang, usai momen Jazzmbensenen itu kami berempat justru semakin sibuk dengan band kami masing-masing. Lalu di awal tahun 2013 aku juga harus pamit kepada Erwin, Faiz, dan Jay. Saat itu aku lebih memilih merantau ke Jakarta untuk menjadi wartawan. Jadilah Frank Legacy berhenti begitu saja.
Hingga pada akhir 2015 aku mendengar kabar Erwin meninggal, rasanya kok kadang menyesal, karena aku merasa masih punya ‘utang’ sama Erwin.
Tapi sampai saat ini, aku-Faiz-Jay dan tentunya beberapa teman musisi lainnya, sangat yakin kalau Erwin sudah tenang dan bahagia ‘di atas sana’. Dan bagaimanapun juga, Frank Legacy juga jadi salah satu peninggalan terbaik seorang Erwin Zubiyan semasa hidupnya. Karena saat itu Erwin punya cita-cita luhur; Dia ingin Jogja punya band dengan genre unik, experimental jazz rock ala Frank Legacy.
Ah, Win.. Aku dadi kangen mbok sengak’i, mbok pisuhi.. “Asui, kowe Gib!”
Sampai jumpa meneh, Win! Matur nuwun nggo kabeh pengalamane. Aku sinau akeh seko kowe. Aku janji bakal ajar solo bass sing apik.

—
#31HariMenulis
Senin 18 Mei 2020