Kangen Maiyahan, tapi sekaline teka setaun pisan
Terakhir ‘pitulasan’ ke Mocopat Syafaat setahun lalu~

PERHATIAN: Tulisan ini sedikit berbau curhat dan mungkin akan terasa sangat receh, remeh temeh. Jadi kalau kamu sudah merasa malas sejak awal untuk membacanya, silakan skip saja sedari sekarang. Tapi kalau mau meneruskan menyimak, monggo.
Malam ini sekira pukul delapan lebih sedikit aku menerima notifikasi di smartphone dari YouTube, tulisannya ‘Mocopat Syafaat 17 Mei 2020’ sedang live. Karena sedang di serambi rumah dan baru saja menyalakan satu batang Blokosutho Alastu, aku langsung mengkliknya dan menuju ke akun YouTube CakNun.com.
Bukan berlokasi di TKIT Alhamdulillah seperti biasanya, namun kegiatan Mocopat Syafaat kali ini digelar di Kadipiro, kantor redaksi CakNun.com sekaligus markas besar Kiai Kanjeng, grup gamelan yang sudah belasan tahun menemani Emha Ainun Nadjib (Cak Nun/Mbah Nun) keliling Indonesia, bahkan dunia.
Ya, sejak ada corona masuk ke Indonesia sejak beberapa bulan lalu, Cak Nun memang langsung memutuskan meliburkan dulu kegiatan Maiyahan, demi ikut mengerem banyaknya kerumunan massa. Wajar saja, setiap acara Maiyahan yang digelar di mana saja pasti selalu didatangi ribuan orang.
Btw dari video live terbaru di YouTube itu tadi, otomatis aku langsung jadi mengingat-ingat kapan terakhir kali aku Maiyahan. Forum semi formal yang belakangan biasa dikenal dengan sebutan ‘Sinau Bareng Cak Nun & Kiai Kanjeng’ ini memang selalu diadakan di Jogja tiap tanggal 17 setiap bulannya. Jamaah Maiyah sendiri sudah akrab menyebut kegiatan Mocopat Syafaat ini dengan istilah ‘Pitulasan’, sesuai tanggal penyelenggaraannya yang tak pernah berubah.
Lalu kapan terakhir aku datang ke pitulasan? Jawabnya aku lupa. Mungkin terakhir sudah setahun dan dua tahun lalu malah. Itu pun cuma mampir selepas pulang kantor dan tak pernah sampai selesai. Haha!
***
Jadi, lewat tulisan ini aku akan -sharing berkedok curhat- tentang perkenalanku dengan Cak Nun, Kiai Kanjeng dan Maiyah. Ya mungkin nggak penting-penting amat buat kalian. Tapi seperti biasa, rasanya aku harus mengabadikan catatan ini untuk jadi pengingat kelak.
Aku pertama kali Maiyahan justru di Jakarta sekitar awal 2013. Tapi saat itu aku sendirian, cuma mampir sebentar (istilahnya cek ombak), lalu aku memutuskan untuk pulang saja karena badan sudah terasa capek. Seingatku pada saat itu, aku baru saja selesai menyelesaikan liputan di daerah sekitaran Menteng (FYI, tahun-tahun segitu, aku bekerja sebagai wartawan di salah satu media online terkemuka ibu kota).
Lupa-lupa ingat tanggal berapa bulan apa, yang jelas forum Kenduri Cinta (nama forum Maiyah di Jakarta) malam itu belum dihadiri oleh Cak Nun. Infonya saat itu Cak Nun memang akan sedikit telat datang karena masih dalam perjalanan. Padahal saat itu sudah tengah malam.
Tapi kalau mau ditarik ke belakang, aku sudah mengenal sosok Cak Nun sejak masih SD dari cerita yang disampaikan oleh almarhum ibuku. Selain mengenal namanya, aku juga sudah familiar dengan nama Novia Kolopaking (istri Cak Nun), karena ternyata mendiang eyang putriku masih ada hubungan darah dengan trah keluarga besar Kolopaking.
Hingga akhirnya sekitar 2006–2007, aku mulai kenal dengan Dhedot dan bersahabat baik sampai sekarang. Dhedot ini adalah drummer Letto, yang circle pertemanannya tak jauh-jauh dari Maiyah. Sebab vokalis Letto, Sabrang (Noe) adalah anak dari Cak Nun.
Dari situlah, aku mulai mengenal anak-anak Letto lainnya, mendengar sedikit cerita soal Cak Nun-Kiai Kanjeng dan keluarganya, bisa dolan ke Kadipiro, dan mulai beberapa kali ikut Maiyahan yang tak cuma digelar di TKIT Alhamdulillah saja (beberapa kali dalam setahun memang agenda Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng bisa diselenggarakan di berbagai tempat, digelar secara umum alias gratis, tergantung apa momennya dan siapa penyelenggaranya).
***
Kenapa suka Cak Nun, Kiai Kanjeng dan Maiyah?

Sejak kecil sebenarnya aku tidak terdidik dan tak pernah tertarik soal agama Islam. Padahal kalau dipikir-pikir almarhum bapak dan ibuku termasuk orang yang cukup religius semasa hidupnya. Ditambah lagi aku bersekolah di Muhammadiyah selama 6 tahun, yakni SMP sampai SMA. Tapi ya gitu. Namanya nggak suka, ya nggak akan mau meski dipaksa.
Tapi sejak berstatus menjadi mahasiswa hampir-hampir lulus, aku merasa seperti perlu mulai mengulik lagi soal agama Islam. Faktornya mungkin karena saat itu aku sedang diterpa beberapa masalah rumit dan bingung harus mencari ‘pelarian’ ke mana. Kemudian akhir tahun 2012 sebelum merantau ke Jakarta, aku sering ‘diam-diam’ mencari informasi dan menonton video Maiyahan via YouTube setiap harinya. Hingga awal 2015 aku memutuskan kembali ke Jogja lagi. Dari situ aku mulai bisa merasakan langsung hadir ke Mocopat Syafaat, pitulasan rutin di TKIT Alhamdulillah.
Kalau ditanya kenapa aku suka Cak Nun, mungkin yang paling tepat karena sosoknya. Selain sosok, selama ini cara penyampaian Cak Nun soal Islam dan ilmu-ilmu penting lainnya memang selalu langsung ‘klik’ buatku. Masuk akal. Salah satu yang terpenting adalah konsep ‘Segitiga Cinta’ Maiyah, yang isinya cuma selalu ada Gusti Allah, Nabi Muhammad, dan kita sebagai umat manusia dalam kehidupan ini. Bahkan Cak Nun ini juga berjasa besar untukku. Beliau sosok yang pertama kali membuatku jatuh cinta pada sholawat sampai detik ini.
Pemikiran-pemikiran Cak Nun soal Islam menurutku juga selalu jadi jawaban ketika makin banyak ‘ajaran-ajaran lain yang dianggap ngawur’. Dan ketika aku sedang penasaran akan sesuatu, biasanya langsung terjawab dengan otomatis ketika aku menyimak Maiyahan. Ajaib. Apapun pertanyaannya, akan terjawab dengan sendirinya.
Nah, kalau soal Kiai Kanjeng, tentu lumrah rasanya jika aku langsung menyukainya. Selain karena aku memang juga bermusik, Kiai Kanjeng ini menurutku magis. Apalagi ketika kamu menonton live performnya saat Maiyahan. Meski tak mengenal semua personelnya, namun aku selalu merasa bisa akrab dan rekat jika Maiyahan.
***
Selain soal Maiyahan itu tadi, (mungkin) aku termasuk dari jutaan Jamaah Maiyah yang rajin mengoleksi buku-buku karya Cak Nun. Dari buku lama yang dicetak ulang, sampai buku terbaru yang biasanya tak luput dari list belanja bulananku.
Setidaknya sudah ada hampir 40 buku karya Cak Nun yang aku punya sampai sekarang. Semuanya juga sudah ku baca sampai selesai. Meski beberapa di antaranya ada yang membingungkan, karena gaya bahasa Cak Nun yang terlalu ‘berat’ untuk dipahami dengan cepat.
***
Ah, tapi rasanya kok akan semakin panjang jika aku masih meneruskan tulisan ini. Karena sebenarnya masih sangat banyak hal-hal menarik yang ingin aku tulis soal Cak Nun, Kiai Kanjeng dan Maiyah. Bukan maksud untuk menggurui atau gimana, tapi sebenarnya yang paling utama aku cuma ingin berbagi saja.
“Nih lho, pemikiran Cak Nun soal ini bagus lho. Ya lumayan buat wawasan baru.”
“Eh, kamu tahu nggak, ternyata di lagu Kiai Kanjeng yang itu menarik lho, bla bla bla.”
“Coba deh, sekali-kali kamu datang Maiyahan. Kalau belum pernah, dijamin kamu akan punya banyak kesan dan pemikiran baru usai dari sana. Dapat sedulur baru juga.”
“Aku baru beli buku Cak Nun yang paling baru nih.. Di dalamnya ternyata ada info-info begini lho, nanti.”
Misale.
Syukur kamu bisa ikut Maiyahan terus. Jangan kayak aku. Pol mentok cuma beli buku, Maiyahan via YouTube, tapi datang langsung ke acaranya jarang banget. Sekalinya kangen, eh baru ingat kalau datang Maiyahan paling cuma setahun-dua tahun sekali aja. Payahnya aku~
—
#31HariMenulis
Minggu 17 Mei 2020
Ditulis dari rumah sambil streaming Mocopat Syafaat di Kadipiro~