Masjid tertua itu ada di Jogja utara
Masjid ini sudah ada sebelum Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri~

Selain musik, sejak dulu aku selalu suka dengan apa-apa yang berhubungan dengan sejarah Jogja. Ya meski belum mengulik semuanya, tapi sejak dua tahun belakangan aku mulai mempelajarinya dengan mencari bahan bacaan atau sekadar ngobrol dengan teman yang juga memiliki ketertarikan serupa.
Bicara soal Jogja, selain kuliner pastinya, aku selalu ingin menulisnya. Tapi tentu saja dengan apa yang aku suka. Tidak semua. Aku tetap memilih, kira-kira ini cocok untuk diulik dan ditulis. Beruntung aku masih bisa melakukan liputan dengan membawa identitas wartawan, profesi keseharian yang sudah aku lakoni selama lebih kurang tujuh tahun ini.
Nah, salah satu yang bikin aku penasaran adalah Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Bertempat di Jalan Plosokuning Raya 99, Minomartani, Ngaglik, Sleman, masjid ini diklaim sebagai masjid pertama di Jogja. Pada awalnya, tujuan dibangunnya masjid ini adalah sebagai benteng spiritual Keraton Yogyakarta, terutama untuk menjaga spirit Islam dan tradisi Jawa saat itu.
Jadi kebetulan memang masjid ini tak jauh dari rumahku sekarang. Sudah sekitar empat tahun ini memang aku sudah menetap di Jogja kawasan utara. Selain itu, sebenarnya masjid ini juga tak asing lagi buatku, karena zaman masih SD aku sangat sering bersepeda ke daerah Plosokuning, Minomartani, dan sekitarnya. Mengingat saat itu sangat banyak teman-teman SD-ku bermukim di sana.
Namun puluhan tahun kemudian akhirnya aku baru kesampaian juga untuk masuk langsung, dan tentu saja melakukan wawancara untuk keperluan artikel media online tempatku bekerja. Aku melakukan wawancara dan menulis artikelnya akhir 2018 lalu. Haha! Tapi semoga masih relevan untuk dibaca ya. Lagian sebenarnya artikelnya juga biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Anglenya cuma standar soal sejarah saja, yang sebenarnya bisa dicari lebih komplet di catatan-catatan sejarah atau artikel lainnya.
***
Nah, Kamaludin Purnomo adalah orang yang langsung aku cari saat itu. Pria yang harus aku temui ini atas rekomendasi dari Gus Fuad Plered (KH Muhammad Fuad Riyadi), kiai muda yang dalam beberapa tahun ini aku bantu untuk proyek musik religinya bergenre Rock Sholawat, ROFA. Gus Fuad yang saat itu aku ceritakan soal rencana menulis soal Masjid Pathok Negoro Plosokuning langsung menyuruhku untuk bertemu Kamaludin tersebut. Kamaludin adalah teman Gus Fuad juga. Belakangan diketahui Kamaludin ini adalah Takmir Masjid sekaligus Pengelola Cagar Budaya Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
***

“Masjid Pathok Negoro Plosokuning ini adalah bagian dari grand design pendirian Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, karya Sultan Hamengku Buwono I. Masjid ini tua sekali, usianya sudah ratusan tahun,” kata Kamaludin membuka obrolan, ketika ku temui di halaman belakang Masjid Pathok Negoro Plosokuning selepas waktu Isya.
Menurut cerita masyarakat sekitar masjid, sejarah pemberian nama Plosokuning ini unik, lantaran diambil secara spontan. Nama Plosokuning diambil dari nama salah satu pohon, yakni ploso, yang kebetulan letak pohonnya tak jauh dari masjid. Banyaknya dedaunan ploso yang saat itu berwarna kekuningan akhirnya jadi inspirasi pemberian nama masjid ini. Jadilah nama Plosokuning.
Selain sejarah nama Plosokuning, diceritakan Kamal, masjid ini diberi nama Pathok Negoro karena berkaitan dengan imam-imam yang diberi wewenang menjaga masjid pada saat itu. Mereka punya tugas penting sebagai penasihat negara atau lebih spesifiknya berstatus penasihat kerajaan.
“Sehingga orang Jawa saat itu bilang yang paling gampang, ya Pathok Negoro,” ujarnya sembari menyeruput teh tubruk.

Menurut Kamal, masjid yang terletak di wilayah Yogyakarta utara ini merupakan masjid pertama di tanah Jogja. Meski sebenarnya masih ada lagi tiga Masjid Pathok Negoro yang juga dibangun oleh Sultan HB I, seperti Masjid Jami’ An-Nur Mlangi (wilayah barat), Masjid Ad-Darojat Babadan (wilayah timur), Masjid Nurul Huda Dongkelan (wilayah selatan).
Namun dari beberapa catatan sejarah lainnya menyebutkan Masjid Plosokuning di Jogja ada lima, di mana wilayah selatan selain Masjid Nurul Huda Dongkelan juga terdapat satu masjid lagi, yakni Masjid Taqwa Wonokromo.
“Masjid ini ada di sebelah utara, timur, selatan, dan barat. Yang utara ya Masjid Plosokuning ini, yang juga dikenal dengan nama Masjid Jami’. Dan kalau merujuk pada banyak tulisan atau literatur yang ada di keraton, ini memang masjid pertama dan paling tua di Jogja. Sebab menurut catatan sejarah menuliskan bahwa Keraton Ngayogyakarta berdiri tahun 1755, sedangkan masjid ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1724,” kata Kamal.

Jika merujuk pada data tahun tersebut, artinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning sendiri saat ini sudah berusia 296 tahun alias nyaris tiga abad.
Mengenai pemimpin dari masing-masing masjid, Kamal menuturkan bahwa setiap Masjid Pathok Negoro sejak awal tentu saja selalu dipimpin kiai alias alim ulama dalam agama Islam. Masjid Pathok Negoro Plosokuning sendiri dipimpin Kiai Mustofa sebagai sosok kiai pertamanya.
“Jadi dari pertama berdiri sampai sekarang memang di masing-masing masjid ini selalu ada kiainya. Kalau di sini misalnya, yang paling pertama ada Kiai Mustofa, yang dulu diberi gelar Pathok Negoro I. Kiai Mustofa itu cucunya Mbah Kiai Nur Iman, dan Mbah Nur Iman itu kakaknya Sultan HB I,” papar pria berusia 56 tahun ini.
Di Masjid Jami’ Pathok Negoro Plosokuning ini sampai sekarang masih menjaga tradisi-tradisi Islam peninggalan nenek moyang, antara lain seperti ritual sholawatan, saparan, dan ruwahan. Tak heran jika masih banyak masyarakat luar Jogja selalu tertarik mengunjunginya, baik untuk mengikuti ritual keagamaan atau sekadar wisata religi serta mengabadikan foto kenang-kenangan di masjid tersebut.
“Karena selain menjaga fisik masjid yang merupakan sejarah besar, tradisi Islam dan budaya Jawa ini harus tetap kami lestarikan terus menerus,” terang Kamal.

Selain bangunan masjid yang sangat bersejarah, tak jauh dari Masjid Jami’ Pathok Negoro Plosokuning juga terdapat peninggalan sumur milik Sultan Hamengku Buwono I.
“Letaknya sebelah selatan masjid. Sumur inilah yang menjadi pesanggrahan Sultan HB I, atau lebih tepatnya dinamakan Pesanggrahan Pangeran Mangkubumi,” tambah Kamal.
Sekadar diketahui, pesanggrahan adalah rumah peristirahatan atau penginapan yang biasanya dimiliki pemerintah. Pada zaman kolonial, kata yang umum digunakan dalam bahasa keseharian adalah ‘pasanggrahan’. Cara penulisan itu juga banyak terabadikan di dokumen-dokumen kuno masa Hindia Belanda.
Hingga kini, masjid tertua di Jogja ini tetap berdiri kokoh dan asri. Suasananya yang sangat Islami dan menyejukkan semakin terasa karena hadirnya beberapa pondok pesantren yang letaknya tak jauh dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning ini.
“Pondok pesantren yang pertama ya ada di masjid ini, dan berdiri nggak lama setelah masjid ini jadi. Kemudian beberapa pondok pesantren lainnya mulai berdiri. Sampai sekarang ada 6 pondok pesantren di sini. Tapi ya belum lama juga usianya, mungkin baru sekitar 10–15 tahunan. Rata-rata pondok pesantren baru semua,” imbuh Kamal menutup perbincangan.
***
Namun belakangan, Masjid Pathok Negoro Plosokuning ini diketahui bukan masjid pertama dan tertua di Jogja. Dari beberapa catatan lama dan baru yang aku temukan, masjid tertua di Jogja adalah Masjid Kotagede Mataram atau Masjid Gedhe Mataram.
Masjid itu usianya malah sudah hampir lima abad. Masjid Kotagede Mataram tercatat dibangun sejak 1589 Masehi oleh Panembahan Senopati Sutowijoyo. Masjid ini disebut berdiri pada abad ke-16, jauh sebelum ada Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang disebutkan Kamaludin dibangun pada tahun 1724.

Jadi, barangkali Masjid Pathok Negoro Plosokuning ini lebih tepat jika disebut masjid pertama dan paling tua di Jogja utara.
—
#31HariMenulis
Sabtu 23 Mei 2020
—
*Tulisan ini pertama kali mengudara di brilio.net dengan penulis yang sama~
*Ditulis, didaur ulang saat malam takbiran pandemi corona