Memahami Cak Nun soal ‘Firaun, Qarun, dan Haman’

Agib Tanjung
9 min readJan 29, 2023

--

“Jangan membenci dengan apa yang tidak kamu ketahui. Jangan marah dengan apa yang kamu tidak paham.”

Foto: Sinau Bareng Cak Nun & Kiai Kanjeng | Dies Natalis Amikom #24, Sabtu 20 Oktober 2018 diedit ulang oleh Bayu Kurniawan

Sudah sepekan pas semenjak video potongan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun viral. Seingatku video ceramah singkat Cak Nun itu mulai ramai sejak Senin 16 Januari 2023. Hampir semua platform media sosial ramai dipenuhi dengan unggahan ulang video tersebut dengan berbagai gaya editan.

Isinya tentu saja kamu tahu, yakni pembahasan Cak Nun soal peta pemerintahan dan politik Indonesia saat ini. Cak Nun menyebut dengan jelas bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti Firaun, Anthony Salim seperti Qarun, dan Luhut Binsar Pandjaitan seperti Haman.

Efeknya apa? Tentu saja netizen marah besar. Sangat marah. Terutama para pendukung Jokowi yang sangat militan. Mereka menganggap pernyataan Cak Nun tak berdasar dan ngawur. Netizen mengamuk dan mencaci maki Cak Nun.

Tapi pada Selasa 17 Januari 2023, Cak Nun langsung mengunggah video klarifikasi dan permintaan maaf di kanal YouTube-nya, CakNun.com. Dalam video kurang dari 3 menit itu, Cak Nun ditemani anaknya, Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Patub Riyono.

Dalam video itu, Cak Nun merasa bersalah karena tak perlu waktu lama sejak video itu viral, ia langsung dimarahi habis-habisan oleh keluarganya. Ia meminta maaf. Saat peristiwa itu terjadi, Cak Nun mengakui sedang kesambet. Cak Nun juga tak sadar berucap sevulgar itu dan berefek hebat, bikin geger netizen, hingga Jamaah Maiyah harus kena getahnya. Dari yang jadi korban kena umpat banyak kalangan hingga harus mati-matian membela ayahnya, simbahnya, gurunya.

Tak cukup sampai di situ. Kemurkaan netizen semakin menjadi-jadi karena dalam video itu Cak Nun terkesan tak merasa bersalah sama sekali. Permintaan maaf Cak Nun dianggap tak jelas kepada siapa, karena tidak menyebut nama ketiga sosok yang ia sebut dalam ceramahnya itu. Cak Nun dianggap semakin blunder.

Benarkah demikian?

Ya bisa benar, ya bisa salah. Tentu ini akan banyak muncul banyak pandangan, silang pendapat jika harus dibahas lebih mendalam.

Oke, mari kita mulai. Bagaimana pandanganku soal ‘kasus’ yang menerpa Cak Nun itu? Aku mencoba membuat tulisan ini setelah menunggu sepekan. Tentu dengan banyak pertimbangan.

***

Jujur, aku sendiri pun sempat merasa kacau ketika peristiwa itu terjadi. Cak Nun yang aku anggap, aku sebut sebagai bapak atau simbah ini sangat aku sesali kenapa bisa melakukan tindakan ‘bodoh’ seperti itu. Sebagai pemilih Jokowi pada Pilpres 2019 lalu tentu aku merasa tak terima dengan pernyataan Cak Nun dalam video itu. Tak sempat berpikir dan mencerna.

Dari pendapat beberapa teman yang langsung mengontakku, rata-rata juga berpendapat serupa. Kali ini Cak Nun sudah berlebihan dan tak lagi bisa dipahami. Seolah-olah, usai kejadian itu Cak Nun tak perlu lagi diikuti. Dibenci sudah menjadi sewajarnya, selayaknya orang yang membuat kesalahan fatal. Ada yang auto hilang respek dengan Cak Nun hingga sampai membenci Maiyahnya. Ealah.

Perasaan kacauku juga tak hilang-hilang selama beberapa hari. Aku juga sempat mendiskusikan ini pada istri. Meski saat itu belum menemui titik terang dan kelegaan, akhirnya aku tetap berpikir sendiri. Dari yang menduga-duga apakah penyebaran potongan video itu disengaja oknum-oknum tertentu, ada gerakan masif untuk menghancurkan Maiyah, dan overthinking lainnya yang bisa saja terjadi. Lebay? Lha iya, namanya juga overthinking.

Tapi akhirnya pelan-pelan aku mencoba berpikir dan berpikir lagi. Aku mencoba memahami. Memahami peristiwa utamanya.

Pada akhirnya, aku merasa harus ‘membela’ apa yang sudah diterima Cak Nun gara-gara video itu.

Jadi begini. Poin pertama untuk soal videonya. Setahuku, soal Firaun dan pemerintahan itu bukan sekali saja dibahas oleh Cak Nun. Berkali-kali malah. Tak cuma saat ceramah Maiyahan, setahuku Cak Nun juga berkali-kali menulis soal Firaun dll di beberapa bukunya dan mengunggah tulisannya di web pribadinya, caknun.com. Cuma, apesnya memang kali ini Cak Nun secara vulgar menyebut nama, dan nama itu terasa sangat sensitif karena memiliki banyak penggemar. Ya, Jokowi.

Video itu juga potongan. Siapa yang menyebarkan dan apa tujuannya apa kita paham? Maksudku, sudah dalam beberapa tahun ini potongan video apa saja selalu jadi masalah dan bikin ramai. Apapun yang dibahas, terutama jika menyenggol sesuatu atau seseorang yang sensitif. Tapi apakah kalau ada video full-nya akan mengubah keadaan? Ya belum tentu juga. Belum tentu orang-orang akan memahaminya. Kadung udah males dan benci aja.

Video yang tersebar masif itu setahuku adalah ketika peristiwa Maiyahan rutin Cak Nun di Bangbang Wetan (komunitas Maiyah di Surabaya). Sudah terlampau banyak video Bangbang Wetan selalu diunggah di kanal resmi mereka. Kenapa baru ramai sekarang? Oke, ya mungkin karena menyenggol nama Jokowi. Oke. Padahal aku yo ora semonone banget mbelani Jokowi.

Poin kedua, soal permintaan maaf Cak Nun yang dianggap tak jelas, mengaku tak bersalah, dan gengsi tak menyebut nama.

Mas, mbak. Jadi gini, sepahamanku. Video permintaan maaf Cak Nun itu sebetulnya tertuju untuk kalian-kalian yang merasa ikut murka karena ucapannya. Kenapa Cak Nun tidak menyebutkan nama? Karena Cak Nun sebetulnya dari lubuk hati paling dalam, menurutku tak merasa bersalah pada Jokowi, Anthony Salim, hingga Luhut. Cak Nun akhirnya berucap, memohon maaf kepada kita-kita ini yang ikut terciprat. Ya kecipratan emosi, kecipratan latah mencaci maki, berprasangka buruk, hingga overthinking seperti aku ini.

Sepahamanku, Cak Nun sebetulnya akan mengatakan, “Sing tak sebut ora nesu, ora protes, kok kowe sing ribut?”

Hingga pada akhirnya respons datang dari Gibran Rakabuming, anak Jokowi. Gibran mengaku santai dan memaafkan Cak Nun. Kemudian dari pihak Luhut diungkapkan melalui juru bicaranya saja. Jubir Luhut mengaku atasannya santai-santai saja dan enggan menanggapi pernyataan kontroversial Cak Nun itu. Bahkan sempat ada pemberitaan Cak Nun akan dipolisikan gara-gara ucapannya tersebut.

Menurutku, ucapan Cak Nun soal Firaun, Qarun, dan Haman itu bisa saja sebagai salah satu tafsir. Cak Nun pun sebetulnya akan bisa, sangat bisa, menjelaskan apa yang dimaksud Firaun, Qarun, dan Haman itu secara lebih mendetail jika ia mau. Tapi apa netizen peduli? Ya nggak. Apa mau ada yang coba mengajak diskusi Cak Nun soal itu? Firaun itu orang atau gelar? Qarun itu disebut beberapa kali di Alquran? Haman itu siapa sebenarnya dan apa tugasnya? Ya nggak kan?

Mas, mbak. Cak Nun itu sudah puluhan tahun ceramah, sudah puluhan tahun menimba ilmu di mana saja ia berada, dan sejak kecil dia dibekali pemahaman Islam yang baik dari keluarga besarnya di Jombang. Sepemahamanku, ucapan Cak Nun itu tidak keliru. Itu murni dari pengetahuan luas Cak Nun yang disampaikan pada anak-anaknya di forum Maiyah. Video itu beredar luas dan akhirnya di-framing sedemikian rupa dengan tone sangat negatif. Terkesan orang-orang yang emosi saat itu melupakan apa esensi tabayun.

Soal kesambet, oke. Kalau menurutku pribadi, Cak Nun menyampaikan itu juga ada betulnya dan ada tidaknya. Kenapa? Kesambet itu artinya kita kemasukan roh halus, roh jahat, dsb. Benarkah demikian? Tentu mungkin iya. Pada saat itu setan berusaha mencelakakan Cak Nun. Tapi di satu sisi lainnya, menurutku pernyataan Cak Nun itu tentu sangat punya dasar dari segi keilmuannya. Tapi sekali lagi apakah orang peduli? Ya nggak. Sebagian sudah terlanjur membenci.

Cak Nun pun pasti juga akan berpikir dan berpendapat santai sebetulnya. “Kowe sing nyebarke videone, kok kowe sing ribut dewe?”

Orang yang menyebarkan videonya entah dengan maksud tujuan apa, tapi tetap berusaha membencinya. Disebar sendiri, dicaci sendiri. Solutif? Ya jelas nggak. Tapi ya ndak papa. Itung-itung punya tambahan sosok yang ia ndak suka cuma gara-gara satu pernyataannya saja.

Poin ketiga, terakhir, ini yang cukup aku kecewakan. Banyak orang, tokoh publik, dll, yang juga ikut mencaci. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Pada akhirnya, viralnya video itu jadi momen yang membahagiakan para pembenci Cak Nun. Dari yang sudah kelihatan sampai belum kelihatan, muncul semua. “Ini nih, saatnya. Pas banget momennya,” mungkin begitu batin mereka saat itu.

Sepengamatanku, gara-gara peristiwa kemarin jadi terlihat betul mana yang betul-betul kenal dengan Cak Nun dan yang tidak. Mungkin kalau aku sederhanakan dalam bahasa Jawa yang populer di Jogja, orang-orang yang ‘paitan sengit’ akan terus terlihat mengunggah kontennya menghina-hina Cak Nun. Dasarnya mungkin sekadar mengingatkan, tapi tone-nya sudah berbau mengejek. Ada yang sudah benci dari dulu tapi biasa saja, ada yang sudah benci dari dulu tapi terus membahasnya. Ada yang mengaku kenal tapi ogah untuk menemuinya langsung hingga gengsi mengajak berdiskusi. Katanya kenal?

Tapi ya namanya zaman sekarang, era media sosial, ya sudah risiko untuk semua orang untuk menerima segala serangan. Semua orang berhak judging satu sama lain. Media sosial ini bikin kita jadi pecundang. hanya berani bereaksi di belakang layar digital dan sukses menumbuhkan banyak pengadu domba. Membenturkan sana-sini sesuka hati.

Padahal, tokoh Indonesia zaman dulu juga banyak yang sekontroversial Cak Nun. Tapi kenapa tidak heboh dan menyulut emosi banyak orang? Ya karena tidak ada medsos seperti sekarang.

Dalam kasus ini, aku juga ingat Cak Nun pernah berujar pada salah satu Maiyahan. “Jangan membenci dengan apa yang tidak kamu ketahui. Jangan marah dengan apa yang kamu tidak paham.”

Poinnya apa dalam kasus ini? Orang-orang yang sudah sedemikian rupa menghina Cak Nun sejak kemarin apa mengerti betul soal Firaun, Qarun, dan Haman? Tafsir mereka sejauh apa soal itu? Ya belum tentu paham juga, kan? Bisa saja mereka cuma karena sakit hati karena terlanjur amat sangat mencintai Jokowi sepenuh hati. Padahal, seperti yang aku yakini tadi, Cak Nun tentu sangat bisa untuk menjelaskan soal tafsir Firaun, Qarun, dan Haman itu jika ia mau. Atau barangkali kamu yang berminat dan masih penasaran? Mbok ya silakan datang ke Maiyahan. Forumnya selalu terbuka lebar untuk tanya jawab langsung dengan Cak Nun hingga narasumber lainnya yang hadir. Tapi apakah ada yang berani untuk datang untuk mengajak diskusi? Maksudku, jika kamu tidak paham-paham banget, berlakulah sewajarnya. Membenci tanpa sebab itu juga termasuk sifat bodoh.

Bikin jengkelnya lagi, belum ada sepekan kejadian itu viral, orang-orang tetap menghina Cak Nun. Padahal beberapa hari setelah momen viral itu, Cak Nun kehilangan kakak kandungnya, Ahmad Fuad Effendi alias Cak Fuad meninggal dunia pada Jumat 20 Januari 2023. Dalam suasana berkabung, masih banyak orang yang terus ‘obong-obong’ dan memanas-manasi mengejek Cak Nun via medsos. Demi konten? Caper? Jelas.

Seakan-akan baru kali ini saja Cak Nun sekeras itu. Seakan-akan sejuta kebaikan langsung hilang dalam satu keburukan.

Let see how it goes, bagaimana nanti Cak Nun dan Maiyahnya. Apakah semakin dibenci dan Jamaah Maiyah akan berkurang drastis? Kalau menurutku sih, nggak akan berpengaruh banyak di lingkar Maiyah.

***

FYI, Mustofa Bisri alias Gus Mus juga sempat mengunggah gambar bertuliskan kalimat bermakna dalam.

“Kataku, suatu ketika, menyindirku:

Mereka yang memiliki potensi diikuti oleh orang banyak (orang awam), sudah semestinya lebih berhati-hati dalam bertindak, termasuk dalam berbicara di hadapan publik.”

Postingan itu diunggah Gus Mus via akun Instagram-nya, @s.kakung, pada Selasa 17 Januari 2023, tepat sehari setelah video Cak Nun tentang Firaun itu ramai. Apa itu sindiran untuk Cak Nun? Menurutku iya. Tapi apakah Gus Mus membenci dan terus ikut memanas-manasi pengikutnya untuk membenci Cak Nun? Tentu tidak. Kawan yang baik, tentu cukup sekadar mengingatkan, bukan terkesan mengajak berperang. Aku menduga setelah kejadian itu mereka juga saling berkomunikasi via telepon.

Sejak kejadian itu, apakah Cak Nun salah? Mungkin iya. Tapi apa jika ia keliru apa layak dibenci?

Kalau menurutku, ya jangan. Bagi mereka yang terlanjur membenci, paling utama karena mereka tak paham Cak Nun siapa, sepak terjangnya seperti apa sejak dulu untuk masyarakat di Indonesia. Dan tentu tak paham apa yang selalu disampaikan saat Maiyah. Tapi mana peduli orang soal Cak Nun dan ilmunya, apalagi soal Maiyahnya. Percayalah, sosok sebesar Emha Ainun Nadjib tentu sudah punya tolok ukur sendiri, punya keluasan ilmu dahsyat yang belum mampu kita cerna secara sederhana.

Kemunculan Cak Nun dengan videonya dengan tajuk ‘Kesambet’ itu seharusnya sudah cukup bagi orang-orang yang biasa berpikir dalam dan luas. Oleh karena itu Cak Nun merasa hanya perlu minta maaf dengan kita-kita yang bersumbu pendek ini.

Bagaimana pun Cak Nun ya tetap manusia. Salahnya selalu ada, waktunya kesandung pasti datang juga. Dan aku yakin ada hikmah di balik ini semua. Tapi apakah aku sebegitu setujunya dengan Cak Nun? Ya tentu tidak. Tetap ada hal yang tidak aku sepakati dari beberapa pemikiran sampai cara Cak Nun selama ini di Maiyah. Masa iya semuanya harus bener? Benermu kan belum tentu benernya orang lain, belum tentu benernya orang banyak. Semua orang berhak benar meski dianggap orang lain belum benar.

Kadang aku berpikir, Cak Nun ini cobaannya sangat luar biasa. Sudah dihujat habis-habisan, beberapa hari kemudian diuji lagi dengan dirundung kesedihan karena ditinggal oleh kakaknya.

“Cen nek meh dadi wali ki cobaane kudu akeh,” batinku.

Yakin Cak Nun itu wali? Wallahualam.

*

Ditulis pada Senin 23 Januari 2023, Warungboto, Jogja
Oleh Jamaah Maiyah ‘kemarin sore’

Tepukan 👏🏻 dan komentar 💬 pembaca membuat penulis merasa termotivasi dan semakin bersemangat. Matur nuwun! 🙏🏻

--

--

Agib Tanjung
Agib Tanjung

Written by Agib Tanjung

budak korporat sebagai penyunting teks, pengampu tim media sosial dan video. kadang menjelma menjadi rockstar saat akhir pekan.

No responses yet