Minta maaf, kok pakai ‘kalau’ sih?

Agib Tanjung
4 min readSep 13, 2024

Yakin nggak pernah berbuat salah? Sekecil apa pun itu?

Keresahan ini sebenarnya sudah aku rasakan lebih kurang empat tahunan. Tentu saja case-nya sering terjadi di lingkungan terdekatku sehari-hari, yaitu kantor.

Bagi kamu yang kerja kantoran udah cukup lama, harusnya udah nggak asing lagi sama situasi ketika rekan kerjamu memutuskan resign atau berhenti kerja dari perusahaan. Biasanya, mereka yang berpamitan akan mengantarkan salam terakhirnya melalui teks surel atau WhatsApp.

Nah, problem-nya ada di sini. Sesuatu yang selalu mengganjal di hati.

****

Jadi, seringkali terjadi, dalam situasi yang aku sebutkan di atas, bayangkan saja ada temanmu pamit resign dengan kalimat berbumbu sukacita.

Awalnya mereka akan berterima kasih dan tentu saja meminta maaf atas kesalahan selama kerja bareng. Umumnya sih, begitu. Sudah kebayang, kan?

Lalu tak lama kemudian, rekan-rekan kantor lain akan membalas dengan penuh sukacita pula. Tentu ada yang merasa terharu, kehilangan, dan tentu saja berterima kasih kepada ia yang baru saja resign itu.

Masalahnya, banyak terjadi, (semoga hanya di lingkunganku saja) mereka yang membalas tadi juga membalas permintaan maaf yang menurutku terasa aneh. Kurang tepat.

“Sukses selalu ya, A.. Semoga kariermu semakin melejit di tempat baru. Mohon maaf jika ada salah selama kerja bareng.”

“Terima kasih atas kontribusinya selama ini A.. Kamu itu salah satu karyawan yang membangun perusahaan ini dari awal. Maaf kalau selama ini ada khilaf yang tidak disengaja atau mungkin disengaja.”

Seperti itu contohnya.

Sudah ketemu, apa yang bikin nggak enak?

Bukan masalah kalimat awalannya. Tapi cuma ‘perkara minta maaf’ saja yang menurutku sama sekali tidak pas.

Maaf kok pakai ‘jika’. Maaf kok pakai ‘kalau’.

Kamu boleh setuju boleh tidak. Tapi menurutku, permintaan maaf itu sudah seharusnya sedari awal, sejak alam bawah sadar, kita mengakui murni kita pernah berbuat salah. Sekecil apa pun itu. Ya kali, manusia nggak pernah salah. Itu pegangan dasarnya.

Jadi, ketika kamu meminta maaf dengan menampilkan kata ‘jika’ atau ‘kalau’, menurutku kamu malah jadi tidak ikhlas. Paling parah, kamu tidak sadar diri.

Mas, mbak. Bro, sis. Plis deh.. Nggak ada manusia yang nggak pernah salah. Semua orang, apa pun agamanya, apa pun kepercayaannya, manusia itu ya tempatnya salah. Apalagi nih ya, ketika kamu tumbuh bersama, dalam satu tempat, hampir setiap hari berinteraksi di kantor.

Yakin nggak pernah salah? Kok keren banget kamu?

Minta maaf itu ya minta maaf aja.

Gini deh.. Bayangin ketika kamu yang menerima permintaan maaf dari temanmu, padahal sebenarnya kamu sadar dan ingat betul bahwa temanmu itu pernah bikin salah. Ya tentu saja kamu akan memaafkannya. Ya kan? Apalagi ketika itu momen terakhirmu di kantor.

Tapi..

Kalau kamu ‘ngeh’ dan tiba-tiba ingat atas kejengkelanmu pada si dia yang meminta maaf itu, sudah tentu kamu akan mbatin meski sekilas saja, “Ya ampun, ini orang. Kayak nggak pernah jahat aja sama aku. Minta maaf kok pakai ‘kalau’ segala. Banyak dosa dia padahal sama aku.”

Ya apa iya?

Sepele memang. Tapi efeknya akan jadi buruk jika kita membiasakan minta maaf yang terkesan malah membela diri. Minta maaf itu kan seharusnya introspeksi paling sederhana. Fokus aja dan ingat-ingat betul apa kesalahan kita sendiri. Gitu lho.

Toh, meminta maaf tanpa ‘kalau’ atau ‘jika’ itu rasanya akan lebih plong jika kamu mengucapkannya atau menuliskannya dengan tulus. Semuanya akan ringan. Percaya deh.

****

Ya, tapi kebiasaan keliru itu juga pernah aku lakukan juga. Sering banget malah. Aku pun juga dulu selalu menulis permintaan maaf dengan selalu membawa-bawa kata ‘kalau’ atau ‘jika’.

Tapi seingatku, aku mulai menyadari itu ketika pandemi dan ada beberapa teman mulai resign satu per satu. Terasa ada penyesalan awalnya. Lalu berikutnya aku menyadari begitu banyaknya aku pernah keliru dengan beberapa teman yang resign itu.

Aku pun mulai sadar, maaf ya maaf aja. Nggak usah pakai embel-embel yang lain.

Karena ya itu tadi. Nggak ada ruginya sama sekali kok. Bahkan ketika kamu, mungkin, memang tidak pernah berbuat salah sama seseorang karena kamu tidak dekat, tak pernah bersinggungan sama sekali, misalnya.

Tapi permintaan maaf yang betul-betul minta maaf itu ya akan terasa enak dibaca. Terasa nyaman untuk dirasakan.

Efeknya, kamu jadi akan lebih mudah memaafkan orang lain. Memaafkan diri sendiri. Syukur bisa belajar lebih ikhlas dan maklum menghadapi tingkah laku banyak orang yang kita anggap buruk dan nggak ngenakin ati.

Masih nggak percaya? Coba deh, buktikan sendiri. Pelan-pelan coba dibiasakan, meski lewat tulisan bukan dari lisan.

Terakhir, mohon maaf atas ke-sotoy-anku ini ya. Namanya juga keresahan, ya harus dibagikan. Bisanya juga lewat tulisan.

****

Ngaglik, Sleman
13 September 2024
07.27 WIB

#JumatBerkah
#JumatMenulis

Tepukan 👏🏻 dan komentar 💬 pembaca membuat penulis merasa termotivasi dan semakin bersemangat. Matur nuwun! 🙏🏻

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Agib Tanjung
Agib Tanjung

Written by Agib Tanjung

budak korporat sebagai penyunting teks, pengampu tim media sosial dan video. kadang menjelma menjadi rockstar saat akhir pekan.

Responses (3)

Wah.. Terima kasih Uda, sudah mampir membaca dan kasih pandangan 🫡

Refleksi yang menarik. Saya pikir penggunaan kata hubung syarat "kalau" muncul karena kebiasaan dan bukan dengan niat pemberian syarat. Paling tidak, itu terjadi pada saya.
Namun, saya akan coba untuk menghilangkan kata hubung syarat itu saat meminta maaf. 😊

2

Tapi menurutku, permintaan maaf itu sudah seharusnya sedari awal, sejak alam bawah sadar, kita mengakui murni kita pernah berbuat salah.

Sepakat! Saya sebisa mungkin dengan sadar ketika minta maaf, terutama saat lebaran, hanya menulis kurang lebih, “Mohon maaf atas salah-salah yang lalu ya!”

1