Aku pernah dikasih lukisan ini sama Farid Stevy Asta
Dari tulisan ini, aku sisipkan sekalian: Tips agar dikasih lukisan gratis sama Farid. Ehem~

Sebagai orang yang mencintai kesenian sedari kecil, aku merasa sangat suka jika memiliki karya seni apa saja. Ya, terlebih karya musik. Bisa berupa kaset pita, CD audio, atau piringan hitam sekalipun.
Tapi di luar jenis-jenis itu tadi, tampaknya aku harus berbangga hati karena punya karya seni visual yang bisa dibilang sangat langka, tak sembarang orang punya. Meski bukan karya musik, aku baru sadar sudah menyimpan selama tujuh tahun lamanya. Ya, aku punya satu karya seni lukis dikasih Farid Stevy Asta. You know lah, dia siapa~
Lukisan ini terdiri dari tiga bagian, masing-masing ukurannya 20x20 cm dan menurut Farid pada saat itu lukisan tersebut masih nirtema. Tapi sayang, tujuh tahun merawatnya aku hampir tak pernah tahu apa maksud tulisan dan coretan yang ada di dalam tiga lukisan kecil itu.
Jadi lukisan itu aku dapatkan ketika aku mampir dolan ke rumah kontrakannya. Malam itu, Sabtu 19 Oktober 2013, aku bertandang ke sana bersama Nova Abdillah (Artzex -vokalis gitaris ALTER\EGO band keren kesayangan kalian).
Entah ada maksud tujuan apa, aku masih lupa kenapa malam itu kami menemui Farid. Yang jelas, momen itu setelah setahun Farid urun suara dan urun gambar di single perdana ALTER\EGO yang berjudul ‘Whatever You Say’.
Saat itu rumah kontrakan Farid masih berada di daerah Bugisan, tepatnya di sebelah barat persis Teater Garasi. Dari rumah itulah cikal bakal LIBSTUD ada sampai sekarang.
“Rumahku itu memang selalu jadi studio. Dan di Bugisan itu jadi salah satu rumah kontrakan yang jadi cikal bakal Liberates (yang kemudian dikenal LIBSTUD),” ujar Farid membuka obrolan.
Menurut Farid, lukisan yang aku bawa itu adalah ‘karya nol’ atau ‘karya nirtema’ pasca dia melakukan pameran tunggal di Bali pada tahun yang sama.
“Ada tulisan ‘re invent the game’. Itu jelas karya nomor 0. Artinya mencoba menemukan permainan baru. Dan itu adalah ‘karya nomor nol’. Kalau di band-band-an, itu istilahnya jamming lah. Masih nol, karya nirtema,” kata dia.

Sembari menghisap kretek filternya, Farid menceritakan kepadaku soal lukisan itu. Tapi sayang, dia pun lupa bagaimana proses detail pembuatannya. Yang jelas, setiap kali akan membuat pameran dirinya akan membuat karya ‘mentahan’ dulu. Prototipe istilahnya.
“Jadi untuk sebuah pameran biasanya aku selalu bikin karya nol. Bisa 10 gambar, bisa 15 karya, macem-macem. Nah, karya-karya nomor nol itu akan selalu jadi karya riset, karya penelitian, karya proto, sebelum nantinya aku berkarya sungguhan. Dari situ aku bisa putuskan, aku bakal bikin karya kecenderungan seperti apa dari segi tema dan estetisnya, pilihan mediumnya apa dan seterusnya,” ujar Farid bersemangat.
Nah, selama ini rupanya karya-karya nol itu sudah diperlakukan Farid sebagai gift untuk teman-teman terpilihnya. Beruntungnya, menurut Farid, aku adalah satu dari banyak orang yang ndilalah mendapat tanda kasih berupa lukisannya. Ciye~

“Mungkin Mas Agib itu satu dari beberapa, kebetulan ada di momen yang pas ‘Ah, kok aku pengen ngasih ini ke Agib ya..’. Dan itu tidak pernah aku rencanakan apalagi sampai membawakan ke rumahnya dia.
‘Transaksi’-nya pun menurut Farid juga unik. Semacam mendapat wangsit ataupun kode dari alam, hati Farid sudah otomatis bisa menentukan karya apa yang akan dia berikan ke tamunya. Tapi ya itu tadi, dengan syarat kamu harus bertamu dulu ke rumah Farid. Basa-basi, ngobrolnya harus nyambung sama dia, merokok bersama dan jangan lupa sediakan anggur minimal bir. Dia pasti suka dan akan terkesan padamu. Itu kuncinya~
“Tapi yang jelas, karya nol atau nirtema itu selalu jadi karya yang bakal mengantarkanku ke pameran selanjutnya. Begitu,” kata dia sembari mengambil batang rokok selanjutnya.

Mendengar penjelasan panjang lebarnya itu, aku pun jadi penasaran kira-kira berapa harga lukisan itu jika suatu saat mau aku jual. Tentu saja aku langsung menanyakannya karena penasaran. Apalagi lukisan itu terpisah menjadi tiga bagian. Ya kali bisa dijual jadi tiga lukisan. Misale.
Lalu apa jawaban Farid?
“Itu tidak bisa dipisah lho. Tiga bagian itu ya harus digabungkan. Tidak bisa diecer!” ujarnya serius.
Suami dari Dia Ambar itu juga menegaskan bahwa tiga bagian itu tak bisa dipisahkan. Haram. Harus dipasang jadi satu kesatuan. Jika tidak, tentu akan mengurangi maknanya.
Aku masih belum puas. Aku tetap bertanya, memang berapa duit kalau misalnya bisa dijual?
“Yaaaa, lumayanlah, bisa buat beli pulsa internet sebulan,” kata dia merendah.
Namun menurut Farid, lukisan itu akan ‘sayang’ jika harus dijual -misale-. Sebab di lukisan yang ku punyai itu tak ada tanda tangannya dan bisa saja akan turun harganya jika dipaksakan dijual.
“Kalau karya nol, memang biasanya nggak pernah aku tanda tanganin. Katanya (akan terjual murah) kalau di sistem seni rupa, begitu,” tutupnya.

Ya, bagaimana pun soal jual menjual itu hanya kelakarku saja. Sebagai seorang teman dan pengagumnya selama ini, tentu saja aku sudah sangat berterima kasih menjadi ‘orang pilihan’ mendapatkan karyanya tanpa syarat. Atas nama persahabatan, sekali lagi ku ucapkan terima kasih ya, Mas. Kelak -tiga lukisan yang harusnya jadi satu dan haram dipasang ecer itu- bakal aku ceritakan kepada Kenar dan Raksan ketika besar nanti.
“Iki lho, le.. Bapakmu mbiyen diparingi lukisan apik karo Pakdhe Farid. Jeneng lukisane ‘karya nol, nirtema’,” ujarku suatu saat pada mereka.
“Kira-kira nek tak dol payu piro yo, pak?” tanya Ken kepadaku.
“Iki ono telu lho, lukisane.. Didol siji-siji iso ora e?” sambung Raksan lebih bersemangat.
Ngngngngng..
—
#31HariMenulis
Minggu 3 Mei 2020